Infonews.web.id

Upaya mengkongkritkan ajaran Islam dalam mengintervensi tindak-tanduk sosial masyarakat





Mufassir dalam menafsirkan kitab suci didasari pada kepedulian yang sangaat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-qur’an; suatu penafsiran rasional dan peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks kitab suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.
Dengan demikian, ada upaya serius untuk menjadikan ajaran islam sebagai nilai-nilai yang benar-benar viable (dapat hidup, aktif, berjalan) dalam kehidupan. Al-qur’an dengan karakteristik universalitasnya adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apapun, sebagaimana pada saat turunnya. Hal itu telah disesuikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karena itu al-Qur’an harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penagnutnya, di mana dan kapan saja. Melalui pendekatan seperti itu, tokoh mufassir mestinya tidak sekedar menggarap tema-tema besar dan kosong yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kongkrit.
Seorang tokoh seperti Cak Nur sangat mengapresiasi mendalam terhadap tradisi islam klasik seperti fiqh dan syari’at dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqh dalam perkembangan zaman. Dia berupaya dengan sekuat tenaga menyelami warisan intelektual islam (turast) dalam rangka meraba-raba untuk menemukan nila-nilai agama yang mampu memberikan solusi kepada umat manusia dalam hidup mereka. Sehingga agama dengan segala komponennya dapat berinteraksiaktif dengan kehidupan manusia. Itulah yang disebut pembaharuan dalam islam.
Makna pembaharuan dalam pemikiran islam adalah upaya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh untuk mendudukkan dan memposisikan serta meletakkan islam sebagai nilai-nilai dan ajaran yang harus selalu dikontekstualisasikan kedalam realitas sosial yang terus berkembang dan berlangsung.
Bentuk apresiasi terhadap warisan intelektual islam (turast) adalah dengan cara melakukan pembacaan ulang terhadapnya dalam rangka berupaya menemukan nilai-nilai yang ideal di dalamnya. Sebab, turast itu tentunya berisi banyak hal yang islami, yang tidak islami dan yang berada di garis batas antara keduanya. Tentunya yang tidak islami berupa wacana yang nilainya tidak mampu mengulurkan solusi terhadap problema masyarakat masa kini. Sementara yang yang islami berupa hasil ijtihad yang berisi gagasan yang menggenggam nilai-nilai yang tentunya berpotensi memberikan jalan keluar bagi umat di era ini. Di antara kuduanya adalah dilema.
Hal itu penting untuk dilakukan dalam rangka mengetahui sejauhmana tradisi itu benar-benar mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an. Dan tentunya pula, sejauhmana tradisi yang ada kurang berpijak pada al-Qur’an sehingga perlu dibuang. Karena islam mengajarkan agar meninggalkan apapun yang tidak benilai guna dalam kehidupan.
Signikansi dari pembacaan ulang itu juga adalah kerena tradisi muslim dalam realitasnya lahir dari zaman, tempat dan kondisi tertentu yang terus mengalami perkembangan atau perubahan. Agar tradisi tersebut menunjukkan sikap dinamisnya dan mampu berdialog dengan perubahan zaman, telaah dan kajian kritis dan sistematis terhadap hal tersebut mutlak diperlukan dalam satu kerangka yang tetap berpijak pada nilai-nilai al-Qur’an dan Hadist.
Berkaitan dengan hal di atas, kiranya perlu mengulas tentang neo-modernisme. Pengertian neo-modernisme adalah suatu modernisme islam plus metodologi yang mantap dan benar untuk memahami al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam perspektis sosio-historis. Oleh karena itu, aliran ini menekankan perlunya menerapkan kembali prinsip dan nilai-nilai islam kedalam lingkungan sosial yang baru melalui reformulasi metodologi dan konsep. Dengan begitu aliran ini tetap otentik sebagai aliran islam yang membawa liberalisme islam, sebagaimana sikap komitmen Fazlur Rahman. Dia mendoromg ummst islam agar mampu memahami al-Qur’an secara utuh. Termasuk misalnya persoalan teologi bukan hanya dipahami melalui kajian yang tidak berpijak pada realitas kehidupan melainkan bersifat praksis.
Pandangan teologi parsial yang terdapat dalam aliran teologi islam dianggap oleh Fazlur Rahman kurang Qur’ani dan tidak mampu memberikan landasan praksis bagi kehidupan ummat islam sehingga perlu direformasi dan dikembangkan lebih lanjut. Jadi teologi baginya harus bersifat applicable untuk kemudian mampu menjadi nafas kehidupan umat manusia.
Untuk menemukan pembahasan teologi Rahman yang sifatnya utuh dan komprehensif, penulis meyarankan membaca bukunya Taufiq Adna Amal dengan judul “ Islam dan tantangan modernitas; studi atas pemikiran hukum Fazlur Rahman”, yang merupakan berasal dari skripsi S 1-nya di UIN Suka. Dalam hal ini Rahman menawarkan teologi liberal dengan nuansa Qur’ani yang lebih bersifat aksi yang mampu dengan tepat mendefinisikan hubungan manusia dengan tuhan. karya ini bersifat komparatif dan hermineotik.
Orientasi seluruh umat Islam tentunya adalah kemajuan. Sementara Islam adalah kemajuan itu sendiri. Sehingga tidak akan ditemukan nilai maupun ajaran islam yang menghambat kemajuan, apalagi bertentangan. Sebab hidup ini bukan untuk direnungi, namun dijalani dengan semangat dan serius.
Sehingga Iqbql membedakan antara barat dan timur. Barat adalah materialistic dan tidak religious. Sedangkan Timur, khususnya islam, meskipun merepresentasikan cinta dan kehidupan yang spritualistis, namun tidak memiki pengetahuan atau kekuasaan dan tanpa semangat yang kreatif. Oleh karena itu, sejarah merupakan perjuangan yang terus menerus antara islam dan jahiliyyah.
Islam harus diangkat sebagai islam itu sendiri yang dari awalnya sudah mengandung nilai-nilai yang universal, tanpa harus terperangkap dengan formalisme yang kering. Islam harus dilihat dari esensi dan nilai yang dikandung, dan bukan dari tataran formal-simbolik belaka. Islam formalistik hanya akan membuat umat islam terperangkat dalam slogan kosong. Islam formalistik hanya menjadi al-Qur’an sebagai jimat bagi pemeluknya.
Fazlur Rahman menjelaskan hadis sebagai pembicaraan umat muslim yang dilakukan atau disabdakan nabi pada mulanya bersifat informal. Al-Qur’an dan kehidupan nabi harus dipandang sebagai norma dan nilai-nilai yang dinamis, sedang penafsiran sahabat dan generasi berikutnya terhadap sumber itu hendaknya dipandang sebagai suatu pemahaman yang tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan yang berkembang saat itu.
Muslim yang progresif mampu mendudukkan islam sebagai agama yang hidup dengan cara mengerahkan kemampuannya untuk membedakan antara yang normatif dan historis. Kemampuan membedakan itu perlu diperjuangkan sepanjang zaman agar islam bukan hanya panduan mati yang nuansanya ingin mengembalikan umat islam ke era awal yang jelas-jelas sudah berlalu. Sebuah angan-angan kosong bagi umat islam yang mewartakan; ingin mengembalikan kepada keaslian islam yang pernah dilakukan oleh baginda rasul dan segenap sahabatnya. Sebab masa itu sudah taktersentuh lagi bentuk nyatanya oleh umat belakangan.
Fazlur Rahman adalah seorang rasionalis yang dengan itu ia memberikan dukungan kepada aliran-aliran dalam islam yang memberikan keunggulan kepada akal. Oleh karena itu, mestinya islam mampu memecahkan problem-problem yang dihadapi umat islam dan manusia secara umum. Bukan kemudian merubah pola hidup yang sejatinya sudah islami.
Historisisme Rahman menampilkan tiga tahap yang saling berkesinambungan. Pertama, pemahaman terhadap proses sejarah yang dengan itu Islam mengambil bentukanya. Kedua, analsisis terhadap proses tersebut untuk membedakan prinsip-prinsipnya yang esensial dan formasi-formasi umat islam yang bersifat partikuler sebagai hasil kebutuhan mereka yang bersifat husus. Ketiga, pertimbangan terhadap cara yang terbaik untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip esensial tersebut. Sederhanya adalah kebebasan kehendak manusia dilawankan dengan kekuasaan tuhan, atau otoritas wahyu dipertentangkan dengan kemampuan akal pikiran manusia.
Secara umum, proses penafsiran yang ditawrkan rahman mempunyai dua gerkan ganda. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-qur’an. Kedua, dari masa turunnya al-qur’an kembali ke masa kini. Pemahaman adalah kejadian yang bersifat linguistik, dialektika dan historis. Penafsiran selamanya tetap merupakan pemahaman manusia, dan tidak akan pernah menjadi dogma yang tidak boleh diganggu gugat dan dikaji secara kritis. Apa yang disebut teologi dan doktrin keagamaan tidak pernah lepas dari keterlibatan subjektif.
Dengan demikian, agama sebagai system nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah dapat bertemu secara dialogis dengan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Ketika agama direspon dan diletakkan oleh manusia sebagai system nilai maka ummat beragama tidak lagi mengorbankan integrasi sosial. Sebab mereka tidak lagi terlalu memprioritaskan pandangannya terhadap institusionalisasi agama itu sendiri. Mereka melihat realitas sosial secara objektif melalui nilai-nilai universalitas agama itu sendiri. Sehingga, agama hadir kepermukaan dengan bentuk yang sangat manusiawi dan membawa spirit sosialisi pemecahan, sesuai dengan realitas yang berkembang dengan tetap berbijak pada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah nabi yang hidup.

Oleh: Mat Romli
Cabang: Bangkalan 

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close